Jumat, 26 Desember 2008

BAHA









Kedatangan saya di desa Baha disambut oleh bangunan serbaguna berdampingan dengan Pura besar. Rombongan parkir di bawah pohon besar yang terletak di depan Pura, di atas pohon saya melihat ada dua ”kentongan” (jawa) besar. Saya tidak mengerti makna pohon besar tersebut, lebih-lebih dengan hadirnya dua kentongan besar yang terletak di atas pohon. Ini adalah merupakan usaha untuk melestarikan hadirnya pohon, pohon adalah bagian dari alam. Alam, manusia, roh nenek moyang, dan dewa menyatu menjadi satu membentuk harmonisasi kehidupan.

Perbedaan yang menyolok dari kunjungan kami yang ke tiga adalah jalan merupakan penghubung antar kota, dan dapat dilalui bebagai macam kendaraan. Makna jalan sebagai tempat orientasi sudah tidak ada, dimana ketika berada di Tenganan sangat jelas sekali, jalan dapat digunakan berbagai kegunaan, perannya semakin berkurang ketika berada di Panglipuran dan hilang ketika berada di Baha.

Setelah saya akan masuk ke dalam salah satu rumah, kehadiran saya disambut oleh sebuah gapura, namun yang bisa saya lewati sebagi lubang pintu terletak disebelah gapura. Kehadiran sebuah gapura hanyalah menjadi sebuah simbul belaka, makna gapura sebagai pintu awal masuk di dalam rumah tidak ada lagi. Ini adalah pemukiman modern, dimungkinkan juga pemiliknya mempunyai mobil sehingga peran gapura yang ukuran lubang masuknya sangat sempit tidak dimungkinkan. Setelah masuk saya melihat di dalamnya teridiri dari beberapa masa bangunan yang susunannya hampir mendekati rumah di Panglipuran.

Pura adalah merupakan bangunan yang selalu hadir didalam komplek sebuah rumah, didalam komplek pura terdiri dari beberapa masa yang kegunaannya bermacam-macam, baik itu untuk aktifitas manusia dalam mempersiapkan sesaji, tempat abu jenasah nenek moyangnya dan tempat persembahan untuk beberapa dewa. Segala hal yang religi selalu hadir dalam kehidupan didalamnya, pura adalah segalanya , posisinya dalam ”nawasanga” adalah terletak pada ”utamaning utama”, sehingga hal ini meyebabkan perbedaan gambar jalan (street picture) dikana kiri.






Ditengah komplek rumah hadir ”bale bengong”, yang dapat digunakan untuk duduk-duduk dan diatas rongga atapnya dapat digunakan untuk menyimpan. Dalam fikirannya saya bergejolak tentang nama ”bale bengong” ini, dalam fikiran saya memaknai ’bale’= rumah/tempat; ’bengong’= terbengong, duduk tak ada pekerjaan. Suatu tempat yang dapat digunakan untuk duduk-duduk santai, ngobrol dan sebagainya bahkan dapat juga digunakan untuk menerima tamu. Fikiran saya membandingkan ”bale bengong” ini dengan ”bale meten” di panglipuran, ”bale bengong” di Tenganan. Pada akhirnya nanti akan saya coba untuk membandingkannya penomena ini.







Adapun masa-masa bangunan lainnya ada yang digunakan untuk dapur, tempat tidur, Rumah (modern) di dalam rumah. Rumah di dalam rumah disini yang saya maksud adalah hadirnya rumah yang terdiri dari beberapa ruang (teras, ruang tamu, ruang tidur, ruang keluarga dsb), yang ada diantara masa-masa bangunan di dalam ”rumah” (dalam konteks pengertian arsitektur nusantara). Alam terbuka menghubungkan antara masa-masa di dalamnya. Kehadiran ukiran, terasa tidak ada sebuah format ketentuan tata letak dan elemennya, bila derajat ekonominya tinggi maka ukiran yang hadir akan semakin rumit. Demikian juga dengan kehadiran warna batu bata juga mendominan dengan tata atur sama dengan ukirannya. Ukiran dan batu bata ini yang selama ini saya anggap sebagai ciri khas arsitektur bali. Namun setelah melihat Tengenan dan Penglipuran, saya ragu dengan pemahaman arsitektur bali selama ini. Pertanyaan saya terus mana yang arsitektur bali???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar