Jumat, 26 Desember 2008

GARUDA WISNU KENCANA (GWK)

Akhir dari perjalanan Arsitektur saya di Bali adalah mengunjungi Garuda Wisnu Kencana (GWK) sebuah proyek besar yang bertalian antara wisata, seni, budaya, religi dan arsitektur. Memang kunjungan ke GWK ini tidak termasuk jadwal wisata saya, sehingga waktu yang tersedia sangat terbatas. Dan yang paling saya rasakan adalah terbelalak, saya harus melakukan apa, sehingga berakibat minimnya gambar yang saya ambil. Namun setelah saya cari di Wikymafia.com, akhirnya saya mendapatkan peta udara dari GWK ini, hal ini cukup membantu saya dalam mengurai arsitekturnya. Inti dari proyek GWK ini adalah menghadirkan patung Wisnu yang sedang naik di atas Garuda, yang nanti bila telah selesai tingginya akan melebihi patung Liberty, dan sekarang ini baru selesai 15%.

Kunjungan saya awali menuju kepatung kepala Wisnu, posisi dari patung ini bila saya lihat dari rencana memang bukan pada tempatnya. Namun secara teoritik penyusunannya untuk mencapai patung ini telah menggunakan kaidah sebuah cerita (squence), sebelum menaiki tangga kami disuguhi taman yang saya rasakan sebagai taman ”minimalis bali”. Bentukan yang hadir sangat minimalis sekali, hanya olahan geometri semata tanpa hadir ukiran dan batu bata bali, dengan hadirnya elemen air dan pohon kamboja saya merasa adanya ”bali”. Setelah saya menaiki tangga yang cukup melelahkan saya melihat patung kepala wisnu, saya merasakan betapa besar proyek GWK ini, baik dalam ukuran dan nilai investasinya, ”sebuah mega proyek”.

Kemudian saya menuruni tangga menuju ke patung Kepala Garuda, posisi patung ini juga belum pada tempatnya, posisi patung garuda dan wisnu ini nantinya akan berdiri diatas bangunan 7 lantai. Saya melihat teknologinya, bagaimana kaitan-kaitan lempengan baja dikaitkan kesebuah struktur rangka baja. Dari sini dapat dilihat bagaimana peran sebuah

teknologi dalam mendukung sebuah seni, bukan sebaliknya seni yang diperbudak oleh teknologi. Bagaimana membuat bagian potongan kecil-kecil ini, sehingga bila dirangkai merupakan bagian dari patung yang besar, bagaimana mengkaitkan patung kepala wisnu ke atas garuda? Sebuah proses teknologi yang sangat dahsat.








Kemudian saya melihat sebuah ruang (luar) yang sangat luas, namun kesan ruangnya saya sangat merasakannya dengan skala mega, namun masih terasa kurang bila saya rasakan dengan kehadiran patung GWK yang telah duduk di atas bangunan nantinya. Ruang ini dibentuk dari pemotongan tebing kapur, ini adalah juga merupakan bekerjaan yang sangat besar, hanya untuk membuat sebuah ruang terbuka. Kehadiran ruang ini terencana dengan sangat teliti sekali, kehadirannya dikaitkan dengan hadirnya masa-masa bukit yang sengaja dipotong berbentuk kubus dan bujur sangkar disekitarnya.

Lubang-lubang celah antara kubus bukit menarik saya, saya masukinya skala yang saya rasakan berubah. Saya terasa terhimpit oleh bukit-bukit, kemegahan, ketakutan, kuno itu yang dapat saya rasakan. Ini hanyalah jalan-jalan yang digunakan untuk mencapai ruang besar tadi.

Dalam fikiran saya timbul pertanyaan, apakah konsep halaman di Tenganan dan Panglipuran digunakan disini? Di GWK ini saya tidak menjumpai sama sekali pemahaman saya tentang arsitektur bali adanya ukiran dan batu bata. Ukiran hanya hadir di patung, sedangkan elemen pembentuk ruang, bangunan-bangunan yang ada terbentuk dengan konsep minimalis. Namun saya masih merasakan ini di Bali, lebih-lebih dengan hadirnya suara musik gamelan bali. Namun saya juga berfikir, seandainya perjalanan saya tidak ”terkontiminasi” oleh Tengenan, Panglipuran dan Baha, tanpa hadirnya suara gamelan Bali, apa saya masih merasa di Bali???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar