Masuk ke dalam komplek desa Tengenan, mata saya disuguhi oleh sebuah karya kerajinan yang belum pernah saya lihat. “Pelukisan” daun lontar, karya terciptakan oleh manusia yang penuh dengan kesabaran, ketenangan dan kelembutan rasa seni. Penghargaan terhadap karyanya bukan main, sangat sulit dibeli oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, saya menganggap ini adalah sebuah kewajaran.
Setelah saya asyik mengamati lontar, mata saya dikejutkan oleh hadirnya bangunan yang berbentuk memanjang dengan menggunakan atap ijug, disangga oleh tiang kayu dan berdiri tegak di atas tumpukan batu kali menciptakan proporsi yang cantik, polos dan khas, seperti proporsi seorang gadis bali yang berpakaian baju tradisinya. Perbandingan atap, ruang dan alas bercitrakan khas nusantara, ’ayom’, sejuk, tenang dan terlindungi dari panas dan hujan. Letak dari bangunan ini adalah di tengah jalan yang digunakan untuk kegiatan bersama disamping “bale bengong”, bangunan ini dikhususkan untuk persiapan sesaji pada dewa mereka. Keberadaan bangunan ini tidak hanya di pintu depan saja, namun disetiap beberapa rumah (banjar) bangunan ini dapat dijumpai, yang letaknya ditengah jalan. Jalan adalah merupakan halaman rumah, yang dapat digunakan untuk menjemur ayam, padi, kayu dan tempat bermain anak dan sebagainya. Sementara itu orang tua dapat duduk-duduk di bale bengong, dan wanita-wanita menyiapkan sesaji. Merupakan kegiatan yang harmonis dan menyatu dengan alam dan lingkungannya.
Bila menengok ke kanan maka mata saya disuguhkan oleh bangunan yang terkesan “angker”, gelap yang berada diantara hijaunya alam Tenganan yang terlindungi oleh aturan adat “awit-awit”. Ini adalah rumah suci, yang digunakan untuk tempat tinggal nenek moyang penduduk Tenganan. Seakan-akan meraka hidup layaknya manusia, namun tiada kehiruk pikukan aktifitas manusia, karena mereka hanyalah tempat tinggal roh yang keributannya tidak terjamah oleh “wadek” manusia. ‘angker’ adalah kesan yang saya tangkap. Skala yang diciptakan oleh susunan masa bangunan ini, masih mencerminkan skala manusia, demikian juga ruang luar yang dibentuknya terasa manusiawinya.
Keserasian bangunan persiapan sesaji dengan “bale bengong”, dicapai dengan penggunaan bahan yang sama didalam tiap banjar. Posisi kedua masa bangunan ini saling tegak lurus dan memang kegunaannya tidak berkaitan antara keduanya. Demikian juga dengan kemiringan atap kedua bangunan ini sangat berbeda, kemegahan ”bale bengong” lebih karena tinggi atapnya lebih menjulang dan dengan kemiringan atap yang curam. Ruang atap digunakan untuk menyimpan padi atau barang-barang lainnya dan dibawahnya digunakan untuk duduk-duduk kaum pria. Memang “bale bengong” tampak lebih jantan bila disandingkan dengan bangunan sesaji, yang digunakan oleh wanita dalam mempersiapkan sesaji. Bentuknya berbeda namun menggunakan bahan yang sama bagaikan pasangan penganten yang duduk dipelaminan, serasi sekali. Kedua bangunan ini terletak ditengah jalan, jalan selain sebagai sarana mobilitas juga berguna sebagai tempat kegiatan, hal ini mengingatkan saya tentang “tanean lajeng” (halaman panjang) di Madura, yang sebagai pusat orientasinya adalah masjid. Dua bangunan ini menjadi pusat orientasi bagi setiap banjar, yang terdiri dari beberapa rumah.
Bale bengong, menjadi bangunan utama disetiap banjar, bentukan atapnya lebih besar proporsinya bila dibandingkan bagian bawahnya. Hal ini mempertegas bahwa atap menjadikan salah satu bagian utama dan terpenting yang diolah bentuknya bagi arsitektur nusantara. Atap adalah pelindung dari hujan dan panas matahari, adapun keberadaan pembatas ruang tidak perlu dihadirkan, kerena memang arsitektur nusantara kita yang diperlukan hanya perlindungan dari hujan dan panas. Angin akan menghembuskan uap air yang menyebabkan kelembapan udara, pembatasnya cukup memanfaatkan pohon-pohon yang tumbuh disekitarnya. Sungguh sebuah harmonisasi yang sangat menarik.
Rumah dibatasi oleh pagar yang tinggi, di dalamnya terdiri dari beberapa masa bangunan. Dan itulah rumah (jawa:omah), batas rumah adalah pagar, ruang-ruangnya adalah masa-masa bangunan, hubungan antar ruang selalu bersentuhan dengan alam, alam selalu hadir didalam rumah. Jalan adalah sebagai tempat interaksi sosial, tidak ada individualistis. Untuk masuk ke dalam rumah selalu masuk melalui pintu gapura, yang kehadiran gapuranya dihiasi dengan berbagai simbul dan ukiran.