Sabtu, 27 Desember 2008

PANGLIPURAN










Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Panglipuran, yang menurut penjelasan, desa ini berhubungan dengan Majapahit. Setelah saya datang di lokasi, disambut oleh sekumpulan masa bangunan (”bangunan sesaji”) yang atapnya terbuat dari bambu, yang tertata seperti pemasangan bahan sirap. Penggunaan bahan atap dari bambu ini saya baru mengetahui. Sekumpulan masa ini digunakan oleh warga untuk persiapan membuat sesaji. Perbedaan yang menyolok bila dibandingkan dengan di Tenganan adalah, letak kumpulan bangunan ini terletak pada lokasi tertentu, sedangkan di Tenganan terletak di tengah jalan yang dimiliki oleh setiap banjar.






Jalan lurus dari bawah menuju atas yang diakhiri dengan kehadiran pura besar yang terletak dilereng bukit. Jalan berguna sebagai sarana transfortasi saja, sehingga jalan terlihat lenggang bila tidak ada mobilitas, ini benar-benar jalan (jalan: dari sudut fungsi/modern). Segala aktifitas terselenggara hanya di dalam ”rumah”-nya, yang terdiri dari beberapa masa bangunan.

Bila saya berjalan menuju atas, dan menengok ke kiri maka yang saya lihat adalah ’gapura dan pura’ di dalam rumahnya. Namun bila saya menengok kekanan maka yang saya lihat adalah ’gapura dan elemen masa bangunan lainnya’, tampang seperti ini juga dijumpai di Tengenan, namun di Panglipuran lebih berkesan terbuka. Selain pura besar yang terletak di atas maka setiap rumah selalu ada pura yang dibatasi pagar, yang letaknya ditentukan pada posisi tertentu, seperti dalam ketentuan ”nawasanga”.

Setelah saya masuk ke dalam rumah yang terletak disebelah kiri jalan, maka yang saya jumpai adalah pura yang terpagari namun masih dapat saya rasakan kehadirannya. Dan akhirnya perhatian saya terfokuskan pada sosok bangunan yang terletak di tengah, dan atapnya terbuat dari bambu. Peletakannya terletak di tengah rumah, ini menjadi pusat arah orientasi seluruh masa bangunan di dalam rumah. Demikian juga dengan bentukkannya berbeda dengan bentuk masa bangunan yang lain, demikian juga dengan ketinggian lantainya, ini lebih tinggi. Sosok masa ini dinamakan ”bale meten”, secara ”herarkhi” bele meten ini lebih dimulyakan dibandingkan dengan masa bangunan yang lain, hal ini dipertegas dengan posisi muka lantainya lebih tinggi dibandingkan dengan lantai masa bangunan yang lain. Bale meten ini digunakan untuk menyimpan bahan makanan, dan untuk memasak, sumber kehidupan yang hakiki, seperti halnya tali pusat, sebuah penghubung kehidupan seorang bayi di dalam kandungan. Untuk masuk ke dalam ’bale meten’ ini saya harus melalui tiga tangga untuk memasuk lewat lubang pintu yang sangat rendah. Hal ini memaksa saya seakan-akan saya harus hormat (menunduk) pada yang ada didalamnya yang sebagai pusat kehidupan. Cahaya masuk melalui celah-celah lubang dinding yang menurut ketajaman mata saya kurang, namun menurut penghuni sudah cukup. Hal ini menyadarkan pada diri saya bahwa kemampuan memandang saya masih jauh dibandingkan warga yang asli ini, lebih-lebih penglihatan mata hatinya. Sudut pandang hati saya telah terusakkan oleh pola materialistis, segala sesuatu harus dapat diukur dengan alat ukur yang sifatnya materialistis, bukan dengan mata hati (inilah Nusantara).








Dari sini dapat saya utarakan mana yang lebih bermakna, berherarkhi tinggi, dari ”nawasanga” selama ini posisi pura adalah merupakan posisi yang paling utama (utamaning utama), sedangkan bele meten terletak pada ”madyaning madya”. Sedangkan watak kepribadian ”manusia” nusantara dalam menggapai sebuah cita adalah cukup sederhana, sedang-sedang saja, dan cenderung lebih rendah yang penting cukup. Sedangkan Tuhan adalah pemilik segala maha, maka posisinya harus terletak pada zone ”utamaning utama”. Namun secara aktifitas bale meten lebih sebagai pusat orientasi aktifitas, jadi ini lebih utama. Sungguh sebuah fenomena yang layak dikaji lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar